Judul: Braga: Jantung Parjis Van Java
Penulis: Ridwan Hutagalung, Taufanny Nugraha
Penerbit: Ka Bandung (Jakarta: 2008)
Bandung adalah Paris yang ada di Pulau Jawa, begitu yang tertulis di buku ini. Memang tidak asing, dan sepertinya semuanya tahu bahwa dahulu Bandung dikenal dengan Parijs Van Java. Tetapi kalau sekarang menyebut Parijs Van Java, yang terpikirkan dalam pikiran adalah salah satu mal yang ada di Bandung Utara.
Buku ini romantis, dan rasis. Dalam buku ini diceritakan tentang semua bangunan peninggalan Belanda yang ada di daerah Braga, berikut juga cerita tentang orang-orang yang tinggal disana. Belanda pernah menguasai Indonesia, dan ketika mereka tinggal disini, mereka membangun daerah Indonesia sama seperti tempat tinggal mereka di Eropa.
Bandung: Parijs Van Java
Garut: Switzerland Van Java selain Paradijs Van Het Dosten
Batavia: Venetie Van Java
Malang: Holland Tropische Stad
Semarang: Brava Van Java
Begitu kira-kira orang Belanda menyebut beberapa kota di Indonesia. Dalam kutipan buku tersebut, kalau sekarang Bandung disamakan dengan Paris, hanya akan membuat sungai Seine kecewa apabila disamakan dengan sungai Cikapundung.
kesan dari seorang jurnalis Strait Times Singapura."Salah satu hal paling menyenangkan dalam kunjungan kami ini adalah saat turun dari pesawat dan langsung merasakan kesejukan udara Kota Bandung. Rasanya seperti udara bulan Mei atau Juni di Inggris saja ... Kota berpenduduk 200.000 orang ini berada di ketinggian 2.100 kaki, dengan orang-orang Belanda yang hidup persis seakan mereka tinggal di Holland saja. Pengalaman pada pagi hari saat kedatangan saya di sini, yang saya lewatkan di beranda Concordia Club sambil mengamati kehidupan kota, sudah membuka mata saya. Di sini untuk pertama kalinya saya berada ditengah komunitas orang kulit putih yang hidup secara normal di daerah tropis."
Bandung sama dengan kota Paris. Beberapa hal yang ada di Kota Paris, ada juga di Kota Bandung. Pelacuran, sociƩteit, bioskop, kafe, restauran, gedung kesenian, taman hiburan rakyat, dll.
Ketika membaca buku ini, semua tentang keindahan Bandung dahulu yang sama seperti suasana kota di Eropa, romantis. Sekarang banyak orang yang memimpikan untuk pergi ke Eropa untuk menikmati suasanya, padahal dahulu Eropa ada di Indonesia, ironis. Semua tentang keindahan bangunan-bangunan yang Belanda dirikan, gaya hidup, bagaimana mereka menikmati suasana kota Bandung, indah, sangat indah, Bandung jaman dahulu itu indah. SociƩteit Concordia yang sekarang adalah Gedung Merdeka, dahulu merupakan gedung pertunjukan seni, ada ruang makan dan ruang dansa yang sangat besar, billiard, bowling, perpustakaan dan ruang bacanya. Tidak semua kalangan dapat menikmatinya, hanya orang-orang dari latar belakang Eropa, golongan yang dinaturalisasikan sebagai Belanda, atau tingkat yang dimuliakan posisinya dalam masyarakat. Konon, pribumi tidak berani dekat-dekat dengan sociƩteit ini, kalaupun akan melewatinya dari sisi seberang jalan. Namun betapa pun eksklusifnya sociƩteit ini, tidak sedikit orang Pribumi yang berkeliaran didalamnya, karena sebagian pekerja dan pelayannya tentu saja dari kaum Pribumi. Ekslusivitas ruang sosial semacam ini merupakan simbol rasialis kalangan kolonial yang fanatik. Bioskop Majestic, yang berganti nama menjadi Bioskop Dewi, dan tidak dapat bertahan lama, terdapat plakat di pintu masuk ruang pertunjukan yang bertuliskan "verboden voor honden en inlander", atau tidak dapat dimasuki oleh Pribumi, rasis.
Beberapa foto suasana:
pesta balmasque di ruang utama Schouwburg Concordia |
suasana Schouwburg Concordia malam hari. Lampunya mengikuti alur liku bangunan |
situasi bagian dalam di SociƩteit Concordia |
teras SociƩteit Concordia, tempat yang strategis untuk menikmati suasana kota Bandung |
I rate: 3 out of 5
Comments
Post a Comment